Selasa, 06 September 2011

BAB II. LANDASAN TEORI


LANDASAN TEORI

A.    Konsep Belajar
1.      Definisi Belajar
Belajar merupakan suatu proses kegiatan dimana hasilnya tercermin dalam bentuk prestasi belajar. Slameto (2003:2) mengatakan bahwa belajar ialah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamanya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya.
Djamarah (2002:13) menyimpulkan bahwa belajar adalah serangkaian kegiatan jiwa raga untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman individu dalam interaksi dengan lingkungnnya yang menyangkut kognitif, afektif dan psikomotor. Sudjana (2002:28) mengatakan bahwa belajar adalah suatu proses yang ditandai dengan adanya perubahan pada diri seseorang.
Hamalik (2008:27) belajar adalah modifikasi atau memperteguh kelakukan melalui pengalaman (learning is defined as the modification or strengthening of behavior through experiencing). Belajar merupakan suatu proses, suatu kegiatan dan bukan suatu hasil atau tujuan. Belajar bukan hanya mengingat, akan tetapi lebih luas dari itu, yakni mengalami. Hasil belajar bukan suatu penguasaan hasil latihan melainkan pengubahan kelakuan.
Dari beberapa definisi belajar tersebut diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa belajar adalah suatu proses usaha jiwa dan raga yang dilakukan oleh individu secara aktif guna memperoleh perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan sebagai hasil dari pengalaman dan latihan untuk memperoleh pengetahuan baru dan interaksi dengan lingkungan sekitar.
2.      Prinsip-Prinsip Belajar
Prinsip belajar merupakan petunjuk atau cara yang perlu diikuti untuk melakukan kegiatan belajar. dengan memahami dan menerapkan prinsip-prinsip belajar kita akan dapat memiliki arah dan pedoman yang jelas didalam belajar, sehingga kita akan relatif lebih mudah dan lebih cepat berhasil dalam belajar. Menurut Hamalik (2003:17) mengemukakan bahwa perbuatan belajar yang dilakukan oleh siswa merupakan reaksi atau hasil kegiatan belajar mengajar yang dilakukan guru. Siswa akan berhasil belajar jika guru mengajar secara efisien dan efektif itu sebabnya guru perlu mengenal prinsip-prinsip belajar agar para siswa belajar aktif dan berhasil.
Hakim (2002:2-9) menjelaskan bahwa prinsip-prinsip belajar sebagai berikut :
a.       Belajar harus berorientasi pada tujuan yang jelas.
b.      Proses belajar akan terjadi bila seseorang dihadapkan pada situasi problematis.
c.       Belajar dengan pengertian akan lebih bermakna dari pada belajar dengan hafalan.
d.      Belajar merupakan proses yang kontinue.
e.       Belajar memerlukan kemauan yang kuat.
f.       Keberhasilan belajar ditentukan oleh banyak faktor.
g.      Belajar secara keseluruhan akan lebih berhasil dari pada belajar secara terbagi-bagi.
h.      Proses belajar memerlukan metode yang tepat.
i.        Belajar memerlukan adanya kesesuaian antara guru dan murid.
j.        Belajar memerlukan kemampuan dalam menangkap inti sari pelajaran itu sendiri.
3.       Tujuan Belajar
Pendidikan dalam pengajaran adalah proses yang sadar tujuan. Sardiman (1996:57) memberikan keterangan bahwa rumusan dan taraf pencapaian tujuan pengajaran adalah sesuatu yang diharapkan dari subyek belajar, sehingga memberi arah kemana kegiatan belajar mengajar itu harus dibawa dan dilaksanakan.
Dalam usaha pencapaian tujuan belajar perlu diciptakan adanya sistem lingkungan belajar yang lebih kondusif. Sistem lingkungan belajar sendiri dipengaruhi oleh berbagai komponen yang masing-masing akan saling mempengaruhi dan bekerja secara bervariasi sehingga setiap peristiwa belajar memiliki profil yang unik dan kompleks. Dengan kata lain untuk mencapai tujuan belajar harus diciptakan sistem lingkungan belajar yang tertentu pula.
Menurut Gagne (Hasibuan dan Moedjiono, 2002:5) mengelompokan sistem lingkungan belajar yang sesuai dengan tujuan-tujuna belajar yang ingin dicapai yakni ketrampilan intelektual, strategi kognitif (cara belajar dan berfikir), informasi verbal (informasi dan fakta), ketrampilan motorik, dan sikap serta nilai, yang kesemuanya itu diperlukan strategi belajar mengajar yang sesuai.
Menurut Sardiman (1996:28-29) menjelaskan bahwa tujuan belajar ditinjau secara umum ada 3 jenis :
a.       Untuk Mendapatkan Pengetahuan (Kognitif)
Pemilik pengetahuan dan kemampuan berfikir tidak dapat dipisahkan yakni tidak dapat mengembangkan kemampuan berpikir tanpa pengetahuan. Sebaliknya kemampuan berfikir akan memperkaya pengetahuan tujuan inilah yang memiliki kecenderungan lebih besar didalam kegiatan belajar. Dalam hal ini peranan guru lebih menonjol.
b.      Peranan Konsep dan Ketrampilan (Psikomotor)
Peranan konsep atau merumuskan konsep memerlukan ketrampilan baik yang bersifat jasmani maupun rohani. keterampilan ini dapat dididik yaitu dengan banyak melatih kemampuan demikian juga mengungkapkan perasaan melalui bahasa, tulisan atau lisan. Interaksi yang mengarah pada pencapaian ketrampilan itu akan menuruti kaidah tertentu dan bukan semata-mata hanya menghafal atau meniru.
c.       Pembentukan Sikap (Afektif)
Dalam menumbuhkan sikap mental prilaku dan pribadi siswa, guru harus hati-hati dan bijak dalam pendekatannya. Untuk itu dibutuhkan kecakapan mengarahkan pribadi guru sebagai contoh atau model. Pembentukan sikap mental dan prilaku siswa tidak lepas dari soal penanaman nilai-nilai. Oleh karena itu, guru harus betul-betul sebagai pendidik yang akan memindahkan nilai-nilai itu siswa akan tambah kesadarannya dan kemauannya untuk mempraktekan segala sesuatu yang sudah dipelajarinnya dari seorang guru yang baik.
Dari ketiga tujuan diatas, maka pengajaran merupakan tiga hal yang secara perencanaan dan pragmatik terpisah, namun kenyataannya pada diri siswa merupakan suatu kesatuan yang utuh dan bulat karena semua itu bermuara pada siswa setelah terjadi internalisasi terbentuklah suatu kepribadian yang utuh dan untuk semua itu diperlukan sistem lingkungan yang mendukung.

B.     Konsep Hasil Belajar
1.      Definisi Hasil Belajar
Pengertian hasil belajar tidak dapat dipisahkan dari apa yang terjadi dari kegiatan belajar baik di kelas, di sekolah maupun diluar sekolah. Untuk dapat mengetahui apakah pembelajaran yang dilakukan berhasil atau tidak dapat ditinjau dari proses pembelajaran itu sendiri dan hasil belajar yang dicapai oleh siswa. Pembelajaran dikatakan berhasil jika terjadi perubahan pada diri siswa yang terjadi akibat belajar. Hasil belajar dapat diketahui dari hasil evaluasi yang dilakukan oleh guru.
Sudjana (2003:3) menyatakan bahwa hasil belajar adalah perubahan tingkah laku yang timbul misalnya dari tidak tahu menjadi tahu. Perubahan yang terjadi dari proses belajar adalah berkat pengalaman atau praktek yang dilakukan dengan sengaja dan disadari. Tingkat pencapaian hasil belajar oleh siswa disebut hasil belajar. Menurut Suprijono (2009:5) mengatakan bahwa hasil belajar adalah pola-pola perbuatan, nilai-nilai, pengertian-pengertian, sikap-sikap, apresiasi dan keterampilan.
Sementara itu menurut Arikunto (2009:5) yang dimaksud hasil belajar adalah hasil proses, dimana perubahan itu tampak dalam bentuk perubahan yang dapat diamati dan diukur. Hasil belajar diperoleh siswa setelah mengikuti proses belajar mengajar. Untuk mengetahui tingkat pencapaian hasil belajar siswa atau kemampuan siswa dalam suatu pokok bahasan guru biasanya mengadakan tes hasil belajar.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa hasil belajar adalah hasil yang dicapai siswa sebagai bukti keberhasilan proses belajar mengajar dalam bidang pengetahuan, ketrampilan sikap dan nilai sehingga menyebabkan perubahan tingkah laku pada siswa.
Didalam proses kegiatan belajar mengajar, tingkat penguasaan dan pemahaman siswa dapat diketahui dari hasil belajar. Dalam hal ini tingkat keberhasilan siswa dapat dilihat dari hasil tes yang diberikan setelah proses kegiatan belajar mengajar, karena kegiatan pembelajaran akan berpengaruh besar terhadap tinggi rendahnya hasil belajar siswa.
2.      Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Hasil Belajar
Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar dibedakan atas dua kategori, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Kedua faktor tersebut saling mempengaruhi dalam proses individu sehingga menentukan kualitas hasil belajar.
a.       Faktor Internal
Faktor internal adalah faktor-faktor yang berasal dari dalam diri individu dan dapat mempengaruhi hasil belajar individu. Faktor-faktor internal ini meliputi :
1.      Faktor Fisiologis
Faktor-faktor fisiologis adalah faktor-faktor yang berhubungan dengan kondisi fisik individu.
2.      Faktor Psikologis
Faktor-faktor psikologis adalah keadaan psikologis seseorang yang dapat mempengaruhi proses belajar. Karena pada dasarnya setiap manusia dalam hal ini adalah peserta didik memiliki kondisi psikologis yang berbeda-beda, terutama dalam hal kadar bukan dalam hal jenis, tentunya perbedaan ini akan berpengaruh pada proses dan hasil belajar.
Menurut Yudhi Munadi (2008:26) mengatakan bahwa ada beberapa faktor psikologis yang dapat diuraikan diantaranya meliputi :
                                               i.         Intelegensi
Tingkat kecerdasan atau intelegensi (IQ) siswa tidak dapat diragukan lagi, sangat menentukan tingkat keberhasilan siswa. Ini berarti semakin tinggi kemampuan intelegensi siswa maka semakin besar peluangnya untuk meraih sukses, sebaliknya semakin rendah kemampuan intelegensi siswa maka semakin kecil peluangnya untuk meraih sukses.
                                             ii.          Perhatian
Menurut Slameto (Yudhi Munadi, 2008:27) mengatakan “perhatian adalah keaktifan jiwa yang dipertinggi, jiwa semata-mata tertuju kepada suatu objek ataupun sekumpulan objek-objek”. Untuk dapat menjamin hasil belajar yang baik, maka siswa harus dihadapkan pada objek-objek yang dapat menarik perhatian siswa. Bila tidak, maka perhatian siswa tidak akan terarah atau fokus pada objek yang sedang dipelajarinya.
                                           iii.         Minat dan Bakat
Menurut Hilgard (Yudhi Munadi, 2008:27) mengatakan “minat diartikan sebagai kecenderungan yang tetap untuk memperhatikan dan mengenang beberapa kegiatan”. Bakat
adalah kemampuan untuk belajar. Kemampuan ini baru akan terealisasi menjadi kecakapan yang nyata setelah melalui belajar dan berlatih.
                                           iv.          Motif dan Motivasi
Motif diartikan oleh Sardiman (Yudhi Munadi, 2008:27) sebagai daya upaya mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu. Dalam proses belajar haruslah diperhatikan apa yang dapat mendorong siswa agar dapat belajar dengan baik atau siswa mempunyai motif untuk berfikir memusatkan perhatian, merencanakan dan melaksanakan kegiatan yang berhubungan atau menunjang belajar. Menurut Yudhi Munadi (2008:29) motivasi berarti seni mendorong siswa untuk terdorong melakukan kegiatan belajar sehingga tujuan pembelajaran tercapai.
                                             v.         Kognitif dan Daya Nalar
Kognitif yaitu pemahaman atau wawasan merupakan ciri fundamenatal (asasi) dari respon siswa.
Daya nalar yaitu berfikir dalam rangka menyesuaikan diri dengan dunia nyata. Penalaran merupakan kegiatan atau proses menalar yang dilakukan oleh seseorang. (Yudhi Munadi, 2008:31).



b.      Faktor Eksternal
Faktor eksternal adalah kondisi lingkungan yang ada disekitar siswa. Faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi proses dan hasil belajar dapat digolongkan menjadi dua golongan, yaitu :
1.      Faktor Lingkungan
Kondisi lingkungan yang mempengaruhi proses dan hasil belajar siswa, lingkungan ini dapat berupa :
i.                    Lingkungan Alam
Lingkungan alam misalnya keadaan suhu, kelembaban, kepengapan udara dan sebagainya.(Yudhi Munadi,2008:32)
ii.                  Lingkungan Sosial
Yang termasuk lingkungan sosial sekolah adalah para guru, para staff administrasi, dan teman-teman sekelas dapat mempengaruhi semangat belajar siswa.
2.      Faktor Instrumental
Menurut Yudhi Munadi (2008:32) mengatakan bahwa faktor-faktor instrumental adalah faktor yang keberlakuan dan penggunaanya dirancang sesuai dengan hasil belajar yang diharapkan. Faktor-faktor instrumental ini dapat berupa kurikulum, sarana dan fasilitas, dan guru. Berbicara kurikulum berarti berbicara mengenai komponen-komponen, yakni tujuan, bahan atau program, proses belajar mengajar dan evaluasi.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa konsep hasil belajar matematika siswa adalah kemapuan yang dimiliki siswa setelah ia menerima pengalaman belajarnya. Hasil belajar mempunyai peranan penting dalam proses pembelajaran. Proses penilaian terhadap hasil belajar dapat memberikan informasi kepada guru tentang kemajuan siswa dan upaya mencapai tujuan-tujuan belajarnya melalui kegiatan belajar. Selanjutnya dari informasi tersebut guru dapat menyusun dan membina kegiatan-kegiatan siswa lebih lanjut, baik untuk keseluruhan kelas maupun individu.

C.    Definisi Matematika
Dewasa ini matematika adalah sebagai salah satu ilmu dasar yang berkembang sangat pesat, baik materi maupun kegunaannya, karena matematika berfungsi sebagai salah satu unsur masukan instrumental yang memiliki objek dasar abstrak dan berdasarkan kebenaran konsistensi dalam pembelajarannya.
            Uno (2007:129) menyimpulkan bahwa matematika adalah sebagai suatu bidang ilmu yang merupakan alat pikir, berkomunikasi, alat untuk memecahkan berbagai persoalan praktis, yang unsur-unsurnya logika dan intuisi, analisis dan konstruksi, generalitas dan individualitas,serta mempunyai cabang-cabang antara lain aritmetika,aljabar,geometri dan analisis.
            Ibrahim dan Suparni (2008:9) menyatakan bahwa : “Matematika sebagai ilmu terstruktur yang terorganisasikan, sebab berkembang mulai dari unsur yang tidak didefinisikan, ke unsur yang di definisikan, ke postulat atau aksioma, ke teorema”. James dan James (Suwangsih dan Tiurlina, 2006:4) mengemukakan pengertian matematika adalah ilmu tentang logika, mengenai bentuk, susunan, besaran, dan konsep-konsep yang berhubungan satu dengan yang lainnya.
            Matematika menurut Jonson dan Rising (Asep Jihad, 2008:152) adalah pola berfikir, pola mengorganisasikan pembuktian yang logis, matematika itu adalah bahasa yang menggunakan istilah yang didefinisikan dengan cermat, jelas, akurat dengan simbol yang padat, lebih berupa bahasa simbol mengenai arti daripada bunyi. Matematika adalah pengetahuan struktur yang terorganisasi, sifat-sifat atau teori-teori dibuat secara deduktif berdasarkan kepada unsur yang tidak didefinisikan, aksioma, sifat atau teori yang telah dibuktikan kebenaranya. Matematika adalah ilmu tentang keteraturan pola atau ide, dan matematika adalah suatu seni, keindahanya terdapat pada keterurutan dan keharmonisan. Hal senada dikemukakan oleh Reys (Asep Jihad, 2008:152) secara simpel matematika diartikan sebagai telaahan tentang pola dan hubungan, suatu jalan atau pola berfikir suatu seni, suatu bahasa dan alat. Selain itu, matematika merupakan alat yang memungkinkan ditemukannya serta dikomunikasikannya kebenaran ilmiah melalui berbagai disiplin keilmuan.
            Menurut Johnson dan Myklebust (Mulyono Abdurrohman, 2003:252) mengatakan bahwa matematika adalah bahasa simbolis yang fungsi praktisnya untuk mengekspresikan hubungan-hubungan kuantitatif dan keruangan, sedangkan fungsi teoritisnya adalah untuk memudahkan dalam berfikir. Menurut Cockroft (Mulyono Abdurrohman, 2003:253) mengatakan bahwa matematika perlu diajarkan kepada siswa karena :
1.      Selalu digunakan dalam segi kehidupan;
2.      Semua bidang studi memerlukan ketrampilan matematika yang sesuai;
3.      Merupakan sarana komunikasi yang kuat, singkat dan jelas;
4.      Dapat digunakan untuk menyajikan informasi dalam berbagai cara;
5.      Meningkatkan kemampuan berfikir logis, ketelitian dan kesadaran keruangan; dan
6.      Memberikan kepuasan terhadap usaha memecahkan masalah yang menantang.
Matematika sebagai ratunya ilmu (mathematics is the queen of the siences). Maksudnya antara lain adalah bahwa itu tidak bergantung kepada bidang studi lain; bahasa dan agar dapat dipahami orang dengan tepat, kita bisa menggunakan simbol dan istilah cermat yang disepakati secara bersama; ilmu deduktif yang tidak menerima generalisasi didasarkan kepada observasi (induktif) tetapi generalisasi yang didasarkan kepada pembuktian secara deduktif; ilmu tentang pola ketentuan; ilmu tentang struktur terorganisasi mulai dari unsur yang tidak didefinisikan, ke unsur yang didefinisikan, ke aksioma atau fostulat yang akhirnya ke dalil, matematika adalah pelayan ilmu.
Berdasarkan keterangan diatas, maka dapat dirumuskan bahwa matematika adalah ilmu yang mempunyai objek dasar yang berupa fakta, konsep dan operasi serta prinsip. Juga ilmu tentang logika yang dapat membentuk pribadi anak agar bersikap kreatif, kritis, ilmiah, jujur, hemat, disiplin serta teguh dan matematika juga adalah alat bantu atau pelayanan ilmu bagi ilmu-ilmu yang lain serta dapat membantu manusia memahami dan menguasai permasalahan yang mereka hadapi sehari-hari baik dalam sosial, ekonomi dan alam.
Matematika tidak hanya cukup dipelajari dengan mambaca saja, jika perlu malahan kita sering kali terpaksa harus berulang-ulang untuk membacanya, padahal tidak jarang terdiri dari satu kalimat saja. Belajar matematika juga harus bertahap dan beruntun secara sistematis serta harus didasarkan kepada pengalaman belajar yang lalu akan mempengaruhi proses belajar matematika berikutnya.

D.     Konsep Metode Pembelajaran
1.      Pembelajaran Kooperatif
Isjoni (2009:15) menyatakan bahwa cooperative learning berasal dari kata cooperative yang artinya mengerjakan sesuatu secara besama-sama dengan saling membantu satu sama lainnya sebagai satu kelompok atau satu tim. Konsep pembelajaran kooperatif (cooperative learning) bukanlah suatu konsep baru, melainkan telah dikenal sejak zaman Yunani kuno. Pada awal abad pertama, seorang filosofi berpendapat bahwa agar seseorang belajar harus memiliki pasangan.
Lie (2010:12) menyatakan bahwa sistem pengajaran yang memberikan kesempatan kepada anak didik untuk bekerjasama dengan sesama siswa dengan tugas-tugas yang terstruktur disebut sebagai sistem “pembelajaran gotong royong” atau cooperative learning.
Johnson dan Johnson (Isjoni, 2009:17) cooporative learning adalah mengelompokkan siswa didalam kelas ke dalam suatu kelompok kecil agar siswa dapat bekerja sama dengan kemampuan maksimal yang mereka miliki dan mempelajari satu sama lain dalam kelompok tersebut. Cooperative learning mengandung arti bekerja bersama dalam mencapai tujuan bersama. Dalam kegiatan kooperatif, siswa mencari hasil yang menguntungkan bagi seluruh anggota kelompok. Belajar kooperatif adalah pemanfaatan kelompok kecil untuk memaksimalkan belajar mereka dan belajar anggota lainnya dalam kelompok itu.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa cooperative learning merupakan pembelajaran dengan sistem mengelompokan dan bekerja sama dalam mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru, kemudian siswa diberi kesempatan untuk berinteraksi dengan temannya, sementara guru bertindak sebagai fasilitator dan motivasi. Selain itu, model pembelajaran kooperatif ini banyak digunakan untuk mewujudkan kegiatan belajar mengajar yang berpusat pada siswa terutama untuk mengatasi permasalahan yang ditemukan guru dalam mengaktifkan siswa yang tidak dapat bekerja sama dengan orang lain.
Tujuan utama dalam penerapan model belajar mengajar cooperative learning adalah agar peserta didik dapat belajar secara berkelompok bersama teman-temannya dengan saling menghargai pendapat dan memberi kesempatan kepada orang lain untuk mengemukakan gagasannya dengan menyampaikan pendapat mereka secara kelompok. Tiga konsep sentral yang menjadi karakteristik cooperative learning yaitu penghargaan kelompok, pertanggung jawaban individu dan kesempatan yang sama untuk berhasil.
Beberapa ciri dari cooperative learning adalah : (a) setiap anggota memiliki peran, (b) terjadi hubungan interaksi langsung di antara siswa, (c) setiap anggota kelompok bertanggung jawab atas belajarnya dan juga teman-teman sekelompoknya, (d) guru membantu mengembangkan ketrampilan-ketrampilan interpersonal kelompok dan (e) guru hanya berinteraksi dengan kelompok saat diperlukan. (Isjono, 2009:20)
Prosedur cooperative learning didesain untuk mengaktifkan siswa melalui inkuiri dan diskusi dalam kelompok kecil yang terdiri atas 4-6 orang. Para siswa dibagi menjadi kelompok-kelompok kecil dan diarahkan untuk mempelajari materi pelajaran yang telah ditentukan, dalam hal ini sebagian besar aktifitas pembelajaran berpusat pada siswa yakni mempelajari materi pelajaran dan berdiskusi untuk memecahkan masalah (tugas). Tujuan dibentuknya kelompok kooperatif adalah untuk memberikan kesempatan kepada siswa agar dapat terlibat secara aktif dalam proses berfikir dalam kegiatan belajar mengajar. Model pembelajaran kooperatif tidak sama dengan sekedar belajar dalam kelompok. Ada unsur-unsur dasar pembelajaran kooperatif yang membedakannya dengan pembagian kelompok yang dilakukan secara asal-asalan. Pelaksanaan prosedur model pembelajaran kooperatif dengan benar akan memungkinkan pendidik mengelola kelas dengan efektif.
Roger dan Johnson (Anita Lie, 2010:31) mengatakan bahwa tidak semua kerja kelompok bisa dianggap cooperative learning. Untuk mencapai hasil yang maksimal, lima unsur pembelajaran gotong royong harus diterapkan. Kelima unsur tersebut yaitu :
a.       Saling Ketergantungan Positif
Setiap anggota kelompok harus dapat menyelesaikan tugas kelompok yang kemudian hasilnya didiskusikan dengan anggota kelompok sehingga tujuan yang diharapkan dalam memecahkan suatu permasalahan dapat tercapai.
b.      Tangguang Jawab Perseorangan
Setiap anggota kelompok memiliki tanggung jawab masing-masing, untuk diterapkan dalam kelompok untuk memecahkan suatu permasalah sehingga setiap siswa memiliki rasa tanggung jawab untuk melakukan yang terbaik.
c.       Tatap Muka
Pada tahap ini, setiap kelompok harus diberikan kesempatan untuk tatap muka dan berdiskusi. Kegiatan interaksi ini memberikan keuntungna bagi semua anggota karena dapat menyatuka ide-ide dari setiap siswa dalam kelompok tertentu. Dengan adanya pendapat atau ide dapat memperkaya dan menambah ilmu sehingga dapat memecahkan masalah.
d.      Komunikasi Antar Anggota
Karena berada dalam suatu kelompok, maka setiap anggota kelompok berhak mengemukakan pendapatnya dan menghargai pendapat anggota yang lain dalam suatu kelompok itu. Kemudian diadakan diskusi untuk mengambil kesimpulan dalam memecahkan suatu permasalahan. Keberhasilan suatu kelompok tergantung pada kesediaan para anggotanya untuk mendengarkan dan mengutarakan pendapat mereka. Dengan adanya proses komunikasi antara anggota dapat menambah pengalaman belajar dalam mengendali mental dan emosional siswa.
e.       Evaluasi Proses Kelompok
Guru perlu memberikan kesempatan pada setiap kelompok untuk menilai sendiri proses kerja kelompok mereka agar dijadikan evaluasi dalam melakukan kerja kelompok pada pertemuan selanjutnya.
Untuk memenuhi kelima unsur tersebut harus dibutuhkan proses yang melibatkan niat dan kiat para anggota kelompok para peserta didik harus mempunyai niat untuk bekerja sama dengan yang lainnya dalam kegiatan belajar kelompok yang akan saling menguntungkan.
Pelaksanaan model cooperative learning membutuhkan partisipasi dan kerjasama dalam kelompok pembelajaran. Cooperative learning dapat meningkatkan cara belajar siswa menuju belajar lebih baik, sikap tolong menolong dalam beberapa perilaku sosial. Tujuan utama dalam penerapan model belajar mengajar cooperative learning adalah agar peserta didik dapat belajar secara berkelompok bersama teman-temannya dengan cara saling menghargai pendapat dan memberikan kesempatan kepada orang lain untuk mengemukakan gagasannya dengan menyampaikan pendapat mereka secara berkelompok.
Lie (2010:54) menyatakan bahwa sebagai seorang profesional, guru harus mempunyai pengetahuan dan persediaan strategi-strategi pembelajaran. Tidak semua strategi yang diketahuinya harus dan bisa diterapkan dalam kenyataan sehari-hari di ruang kelas. Meski demikian, guru yang baik tidak akan terpaku pada satu strategi. Guru yang ingin maju dan berkembang perlu mempunyai persediaan strategi dan teknik-teknik pembelajaran yang pasti akan selalu bermanfaat dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar sehari-hari. Teknik-teknik pembelajaran tersebut yaitu :
a.       Mencari Pasangan
b.      Bertukar Pasangan
c.       Berpikir-Berpasangan-Berempat
d.      Berkirim Salam dan Soal
e.       Kepala Bernomor
f.       Kepala Bernomor Terstruktur
g.      Dua Tinggal Dua Tamu
h.      Keliling Berkelompok
i.        Kancing Gemerincing
j.        Keliling Kelas
k.      Lingkaran Kecil Lingkaran Besar
l.        Tari Bambu
m.    Jigsaw
n.      Bercerita Berpasangan
2.   Pengertian Cooperative Learning Tipe NHT (Numbered Head Together)
Lie (2010:12) menyatakan bahwa sistem pengajaran yang memberikan kesempatan kepada anak didik untuk bekerjasama dengan sesama siswa dalam tugas-tugas yang terstruktur disebut sebagai sistem “pembelajaran gotong royong” atau cooperative learning. Jadi bisa disimpulkan bahwa cooperative learning adalah salah satu model pembelajaran gotong royong yang memiliki sisi sosial positif.
Isjoni (2009:78) salah satu tipe yang ada dalam cooperative learning adalah NHT (Numbered Head Together) yang dikembangkan oleh Spencer Kagan (1992). Kelebihan NHT dengan tipe yang lain yaitu :
1.      Memberikan kesempatan kepada siswa untuk saling membagikan ide-ide dan mempertimbangkan jawaban yang paling tepat.
2.      Mendorong siswa untuk meningkatkan semangat kerja sama mereka.
3.      Tipe NHT (Numbered Head Together) ini memudahkan pembagian tugas.
4.      Dengan tipe ini, siswa belajar melaksanakan tanggung jawab pribadinya dalam saling keterkaitan dengan rekan-rekan kelompoknya.
5.      Tipe ini bisa digunakan dalam semua mata pelajaran dan untuk semua tingkatan usia anak didik.
Junaedi, dkk (2008:34) menyatakan bahwa NHT (Numbered Head Together) adalah suatu metode belajar dimana setiap peserta didik diberi nomor kemudian dibuat suatu kelompok, setelah itu guru memanggil nomor dari peserta didik. Pembelajaran kooperatif tipe NHT (Numbered Head Together) ini menekankan adanya struktur khusus yang dirancang untuk mempengaruhi pola interaksi siswa dan memiliki tujuan untuk meningkatkan penguasaan akademik.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa pengertian cooperative learning tipe NHT (Numbered Head Together) adalah kegiatan belajar mengajar secara kelompok kecil, yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk bekerjasama dalam tugas-tugas yang terstruktur dan menutut siswa agar melaksanakan tanggungjawab pribadinya dalam keterkaitan dengan rekan-rekan kelompoknya.
Langkah-langkah cooperative learning tipe NHT (Numbered Head Together). Lie (2010:60) menjelaskan bahwa langkah-langkah cooperative learning tipe NHT (Numbered Head Together) adalah sebagai berikut :
a.       Langkah 1 – Penomoran (Numbering)
Guru membagi para siswa menjadi beberapa kelompok atau tim yang beranggotakan 3 hingga 5 orang dan memberi nomor sehingga setiap siswa dalam tim memiliki nomor yang berbeda.
b.      Langkah 2 – Pengajuan Pertanyaan (Questioning)
Guru memberikan tugas dan masing-masing kelompok mengerjakanya. Penugasan diberikan kepada setiap siswa berdasarkan nomornya. Misalnya siswa no.1 bertugas membaca soal dengan benar dan mengumpulkan data yang mungkin berhubungan dengan penyelesaian soal. Siswa no.2 bertugas mencari penyelesaian soal. Siswa no.3 mencatat dan melaporkan hasil kerja kelompok.
c.       Langkah 3 – Berpikir bersama (Head Together)
Kelompok memutuskan jawaban yang dianggap paling benar dan memastikan setiap anggota kelompok mengetahui jawaban ini. Jika perlu (untuk tugas yang lebih sulit), guru juga bisa mengadakan kerjasama antar kelompok. Siswa bisa disuruh keluar dari kelompoknya dan bergabung bersama beberapa siswa yang bernomor sama dari kelompok lain. Dalam kesempatan ini, siswa-siswa dengan tugas yang sama bisa saling membantu dan mencocokan hasil kerja mereka.
d.      Langkah 4 – Pemberian Jawaban (Answering)
Guru menyebut satu nomor dan para siswa dari tiap kelompok dengan nomor yang sama mengangkat tangan dan menyiapkan jawaban untuk seluruh kelas.
3.      Pembelajaran Model Konvensional
Pembelajaran model konvensional disini yaitu model pembelajaran ekspositori. Menurut sanjaya (2008:179) metode ekspositori adalah metode pembelajaran yang menekankan kepada proses penyampaian materi secara verbal dari seorang guru kepada sekelompok siswa dengan maksud agar siswa dapat menguasai materi pelajaran secara optimal.
Menurut Ahmadi dan Prasetya (2002:22) secara garis besar prosedur metode ekspositori yaitu :
a.       Preparasi : guru menyampaikan bahan selengkapnya secara sistematis dan rapi.
b.      Apresiasi : Guru bertanya atau memberikan uraian singkat untuk mengarahkan perhatian anak didik kepada materi yang akan diajukan.
c.       Presentasi : Guru menyajikan bahan dengan cara memberikan ceramah atau menyuruh siswa membaca bahan yang telah disiapkan dari buku teks tertentu atau yang ditulis guru sendiri.
d.      Resitansi : Guru bertanya dan anak didik menjawab sesuai dengan bahan yang dipelajari.
Keuntungan/kebaikan metode ceramah (Suryosubroto, 2007:166) yaitu :
a.       Guru dapat menguasai seluruh kelas
b.      Organisasi kelas sederhana
Sedangkan keburukanya (Suryosubroto, 2007:168) yaitu :
a.       Guru sukar mengetahui sampai dimana murid-murid telah mengerti pembicaraanya.
b.      Murid sering memberi pengertian lain dari hal yang dimaksud oleh guru.
Metode ekspositori adalah metode yang paling umum diantara metode yang digunakan untuk mengajar matematika dan merupakan strategi yang efektif  bila digunakan secara tepat. Ini tidak berarti bahwa pembelajaran ekspositari selalu merupakan metode terbaik dan harus digunakan untuk semua siswa dan dalam semua kelas matematika.
Kegiatan guru dan siswa di kelas dalam pembelajaran ekspositori mencakup ceramah singkat oleh guru, penyaji konsep dan demonstrasi keterampilan oleh guru, kemudian siswa mencatat kegiatan-kegiatan yang bersangkutan mencakup siswa mengerjakan soal (individu atau kelompok) di bangku atau di papan tulis dan sekali-sekali diskusi kelas mengenai konsep karakteristik, yang membedakan metode ekspositori adalah bahwa guru dominan, yaitu guru mengontrol alur pelajaran dengan menyajikan informasi dan mendemonstrasikan penyajian soal. Model ini cocok untuk pelajaran matematika karena materinya dapat diatur oleh guru dan disajikan dikelas dengan cara yang efisien.

E.      Perbedaan Model Cooperative Learning Tipe NHT (Numbered Head Together) dengan Konvensional (Ekspositori)
Dalam kehidupan, setiap saat terjadi proses belajar, baik sengaja maupun tidak sengaja, disadari atau tidak disadari. Dari proses belajar ini akan memperoleh suatu hasil, yang pada umumnya disebut hasil belajar atau dengan istilah tujuan pembelajaran.
Di bawah ini penyusun coba mengungkapkan beberapa perbedaan antara model cooperative learning tipe NHT (Numbered Head Together) dengan model konvensional untuk mengetahui model manakah yang lebih baik hasil belajarnya, kemudian dapat digunakan dalam proses pembelajaran.
Proses pembelajaran siswa yang menggunakan model cooperative learning tipe NHT (Numbered Head Together), mengharuskan pengolahan oleh siswa. Sedangkan pembelajaran yang menggunakan model konvensional (ekspositori) pengolahannya secara tuntas oleh guru. Kedua proses pembelajaran tersebut akan mempengaruhi hasil belajar matematika siswa.
Model  cooperative learning tipe NHT (Numbered Head Together) memberikan kesempatan kepada siswa untuk bertukar pendapat dengan siswa lain. Model ini memberi kesempatan kepada siswa untuk mengoptimalkan kemampuan dalam memecahkan masalah yang diberikan guru, sehingga siswa menjadi lebih aktif dan tidak timbul kejenuhan dalam belajar.
Sedangkan model konvensional (ekspositori) dalam penyajiannya bersifat memberi informasi atau menerangkan suatu konsep. Seorang guru dalam menerapkan model konvensional (ekspositori) setelah menyusun mata pelajaran secara hierarkis dan sistematik, sehingga dalam pembelajaran yang terjadi adalah guru menerangkan dan peserta didik menerima.
Jika dibandingkan antara model cooperarive learning tipe NHT (Numbered Head Together) dengan model konvensional (ekspositori) akan muncul sebab-sebab atau perbedaan yang mendasar pada penerapannya, yaitu:
1.      Model cooperarive learning tipe NHT (Numbered Head Together)
a.       Mendidik siswa mandiri.
b.      Membentuk kerjasama tim.
c.       Melatih siswa belajar melaksanakan tanggung jawab pribadinya.
d.      Bertukar informasi antar kelompok/siswa.
e.       Guru hanya sebagai pengarah atau pembimbing.
f.       Siswa menjadi aktif.
2.      Model konvensional (ekspositori)
a.       Kurang adanya kerjasama.
b.      Tidak mendidik siswa mandiri.
c.       Guru lebih dominan dari pada siswa.
d.      Siswa menjadi pasif.
Dari uraian materi diatas mengenai perbandingan hasil belajar siswa yang mengunakan model cooperarive learning tipe NHT (Numbered Head Together) dengan konvensional, didapatkan kesimpulan sementara bahwa belajar menggunakan model cooperarive learning tipe NHT (Numbered Head Together) akan lebih baik hasil belajar matematikanya dibandingkan dengan siswa yang belajar dengan menggunakan model konvensional. Hal ini didasarkan pada tututan siswa untuk lebih memahami materi bidang datar segitiga.





2 komentar: